KEGIATAN


TALKSHOW “Mengenal Wahib, Meneguhkan Toleransi”

Talkshow yang diselenggarakan oleh Forum Muda Paramadina Jakarta bekerja sama dengan HIVOS untuk kali ini bertempat di Semarang, tepatnya hari Kamis 1 Desember 2011 yang lalu. Alhamdulillah, Komisariat Tarbiyah diberi amanah untuk membantu terlaksananya kegiatan tersebut. Acara yang mulanya bertempat di IAIN Walisongo Semarang pada akhirnya dipindahkan ke Gedung Fakultas Hukum UNISSULA karena suatu hal. Sedikit kecewa memang, tetapi ini tak menghilangkan semangat kami untuk tetap melanjutkan kegiatan. Tak lain adalah suatu proses.
“Mengenal Wahib, Meneguhkan Toleransi”, ya, itulah tema yang diangkat dalam talkshow tersebut. Mungkin sebagian orang khususnya mahasiswa masih bertanya-tanya tentang Wahib. Siapa beliau, darimana asalnya, dan apa yang istimewa dari beliau sehingga dimunculkan ke permukaan? Dan penulis pun menyadari ketidaktahuannya tentang sosok Wahib.
Wahib yang terlahir di Madura mempunyai nama asli Ahmad Wahib merupakan sosok dengan pemikirannya yang progresif, seorang mahasiswa UGM yang juga aktivis HMI, penggerak kelompok studi Limited Group yang rajin mengadakan pertukaran pemikiran terhadap berbagai masalah. Ia tak kenal lelah dalam mencari kebenaran Tuhan yang sesungguhnya. Ia wafat dalam kecelakaan saat sedang bekerja menjadi wartawan Tempo di Jakarta.
Dalam usia mudanya, ia kerap kali rajin menulis catatannya dalam buku harian. Dalam sejarah, tahun 1982 catatan-catatan itu terbit sebagai buku harian Wahib yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib”. Sebuah buku yang mengundang kontroversi, banyak yang memuji, banyak juga yang mencaci.
Betapa ia adalah seorang pencari kebenaran Tuhan tercoret dalam sebuah tulisan dalam catatan beliau, “Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, … Dan terus terang Aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi al-Quran dan sunnah, akan kucoba. Tapi orang-orang lain pun akan menganggap bahwa yang kudapat itu Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku yang kupahami itu Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu. Terus menerus didekati.” Kemudian ia menulis, “Bagi kita, teis dan ateis bisa berkumpul. Muslim dan Kristiani bisa bercanda. Artis dan atlit bisa bergurau. Kafirin dan muttaqin bisa bermesraan. Tapi pluralis dan anti pluralis tidak bisa bersatu.”
Dalam beberapa kutipan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Islam yang di anut Wahib adalah Islam yang dapat menopang pluralisme di Indonesia, Negara yang ia cintai. Dari segi ini, Wahib mencoba memberikan gambaran tentang pemikiran Islam yang toleran, yang terbuka untuk agama-agama lain. Tapi sayang, tak banyak yang mengetahui sosok beliau diluar catatan hariannya. Saat ini, sedikit saja kalangan terdidik muslim yang membaca dan mengenalnya.
Wahib tak lain seperti tokoh Soe Hok Gie, seorang pemimpin mahasiswa yang mati di usia muda dengan meninggalkan sebuah catatan harian. Bedanya, Wahib memang belum difilmkan dan tak banyak dikenal publik. Maka, dari kegiatan inilah Forum Muda Paramadina dan Hivos bekerja sama dengan HMI Komisariat Tarbiyah untuk mengenalkan wawasan pluralisme dan sikap toleran di kalangan mahasiswa dan pelajar SMA di Semarang.
Alhamdulillah, antusiasme kalangan mahasiswa IAIN dan Unissula cukup tinggi, ada sekitar 90an peserta. Ini tak lain berkat kerjasama dengan HMI Komisariat Hukum Unissula yang membantu tempat berlangsungnya acara. Kawan-kawan dari HMI Komisariat Dakwah, Komisariat Iqbal, Komisariat Syariah, dan Korkom Walisongo yang juga turut membantu proses terlaksananya kegiatan dari awal hingga akhir kami ucapkan terimaksih banyak atas waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan. Terimakasih banyak telah berproses bersama kami disini.

AK

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar