Mengkaji Ulang RUU PT

Ibda'
DUNIA pendidikan kita baru-baru ini memang diguncangkan oleh beberapa problem. Tak ketinggalan RUU PT dan kaitannya dengan liberalisme. Penulis tidak mempermasalahkan penerimaan atau penolakan RUU tersebut, namun cenderung memaknai substansinya.
Di sisi lain, masih banyak masalah yang belum terselesaikan dalam dunia pendidikan kita, namun masalah-masalah baru justru terus berdatangan seperti polemik jurnal ilmiah, komersialisasi pendidikan, pendidikan antikorupsi, dan sebagainya. Itu artinya, agar RUU PT tidak menambah daftar masalah dunia pendidikan, kita pun harus mengkaji ulang RUU tersebut.

Menjadi Polemik

Sebenarnya, wacana mengenai liberalisasi pendidikan tinggi sudah muncul semenjak ditandatanganinya General Agreement on Trades in Services (GATS) oleh negara anggota World Trade Organization (WTO). Dalam persetujuan itu, ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, salah satunya sektor pendidikan tinggi. Dengan adanya liberalisasi sektor jasa, termasuk sektor pendidikan tinggi, arus globalisasi menjadi kian tak terperika. Indonesia mesti menerima proses internasionalisasi pendidikan tinggi, yang berarti membuka ruang-ruang kerja sama dengan pihak luar dalam konteks pengembangan pendidikan tinggi.

Masuknya proses globalisasi itu sendiri tak serta merta berdampak positif. Liberalisasi pendidikan tinggi juga akan bermakna transformasi pendidikan sebagai “komoditas”. Artinya, pembiayaan pendidikan tinggi juga akan dilepaskan dari sentralitas negara. Mengapa? Karena pendidikan telah menjadi public goods, komoditas proses pendidikan tinggi juga harus masuk pada logika “pasar”, sehingga pembiayaan pendidikan tidak lagi bertumpu pada subsidi pemerintah, tetapi pada pembiayaan yang mandiri dari universitas.

Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP yang telah dibatalkan.

Kembali ke Aturan

Jika kita lacak konsep pendidikan, UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Artinya, pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara untuk memastikan dirinya secara individual dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih baik, melainkan juga ada dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya. Dimensi etik itu diwujudkan ke dalam pendidikan karakter dan kepribadian, sementara transformasi sosial diwujudkan dalam pengabdian kepada masyarakat. Hal ini telah ditegaskan dalam cita-cita bersama bagi pendidikan tinggi negeri di Indonesia.

Artinya, nilai-nilai etika dan transformasi sosial tersebut akan berlawanan dengan semangat liberalisasi pendidikan yang dibawa oleh GATS. Dengan demikian, usaha-usaha memasukkan unsur liberalisasi pendidikan tinggi dalam RUU yang akan disahkan harus dilawan agar tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan tinggi.

Liberalisasi?

Dalam RUU PT kali ini, jeratan liberalisasi pendidikan ternyata masih menghimpit. Beberapa klausul yang ditawarkan oleh perumus masih saja memuat beberapa hal yang bertendensi pada liberalisasi sektor pendidikan. Sebagai contoh, di pasal 77, pemerintah melakukan pemilahan perguruan tinggi menjadi tiga jenis: (1) otonom; (2) semi-otonom; (3) otonom terbatas. Konsep otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi hal yang problematis karena memuat “liberalisasi” dalam pembiayaan.

Di pasal 80, PTN yang berstatus otonom menerima mandat pelaksanaan pendidikan tinggi dengan wewenang mengelola dana secara mandiri (ayat 2 huruf f), serta mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi (ayat 2 huruf h). Dalam hal pemenuhan hak mahasiswa (pasal 90), pemerintah memiliki opsi yang cukup aneh, yaitu memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa (ayat 2 huruf c). Pinjaman dana kepada mahasiswa ini diberikan tanpa bunga atau dengan bunga (ayat 3) dan dilunasi selepas lulus kuliah atau mendapatkan pekerjaan. Sudah jelas, klausul ini melegitimasi kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan sebagai tanggung jawab negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini mengajarkan warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2), pendidikan adalah hak rakyat.

Secara sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek pendidikan agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana dikehendaki UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru membuat warga negara “berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga negara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi dalam konteks semangat kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan tinggi. Jadi, dari paparan di atas, penulis lebih sepakat untuk menolak RUU tersebut.

Hamidulloh Ibda
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Pimred Bulletin INSANI Semarang
Master of Training HMI Cabang Semarang

Kategori:Tulisan kader

HMI National Anthem

April 4, 2012 2 komentar

Image

HIMNE HMI

 

Bersyukur dan ikhlas

Himpunan Mahasiswa Islam

Yakin usaha sampai untuk kemajuan

Hidayah dan taufik

Bahagia HMI…

 

Berdoa dan ikhlas

Menjunjung tinggi syiar Islam

Turut Quran dan Hadits jalan keselamatan

Ya Allah berkati

Bahagia HMI…

Kategori:HMI-ku

MENDESAIN PENDIDIKAN ISLAM

Chamidah
Oleh : Nurchamidah*

Dewasa ini, pendidikan Islam sedang dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran Islam. Pendidikan Islam telah mengalami degradasi yang sangat tajam. Problem yang dihadapai umat Islam, semakin kompleks. Terutama stagnasi dalam hal pendidik dan pendidikan Islam.
Pendidikan mempunyai banyak arti. Dalam bahasa Arab, istilah pendidikan populer dengan kata ta’lim, tarbiyyah, dan ta’dib. Yang walau berbeda kata, akan tetapi mempunyai substansi arti yang sama. Dalam kamus kontemporer Bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan, dan latihan proses mendidik (Peter dan Penny, 1991: 353). Jadi pendidikan Islam adalah suatu sistem pembimbingan terhadap masyarakat atau komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas intelektual Imuwan Islam dan melahirkan pendidik Islam yang berkualitas tinggi. Sehingga akan berdampak positif terhadap kemajuan Islam.
Meskipun kependidikan Islam telah banyak dibahas oleh para ahli pendidikan, namun masih sedikit yang mengkaji pemikiran tokoh tentang pendidikan Islam. Mereka lebih mengorientasikan tentang kependidikan Islam pada materinya saja, tanpa menyebutkan strategi atau langkah menuju majunya Islam. Padahal, banyak tokoh pembaru Islam yang sangat populer tentang cara pemikiranya. Salah satunya adalah Fazlur Rahman, yaitu tokoh pemikiran pembaruan Islam, yang banyak mengeluarkan karya tulisnya, tentang metode-metode pembelajaran pendidikan Islam dan juga menyajikan cara mengatasi problematika pendidikan Islam masa kini.
Menurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan Pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. (Rahman, 1984: 86). Sehingga kependidikan Islam sangat sulit untuk maju dengan pesat. Berdasarkan pemikiran Fazlur Rahman, hal yang berpengaruh pada pendidikan Islam adalah peran Pendidik (Mu’alim). Pendidik bagaikan cahaya untuk peserta didiknya. Pendidik harus mampu memberikan ilmu sebagai penerang bagi dirinya sendiri serta anak didiknya. Maka, agar tujuan pendidikan Islam bisa tercapai, diperlukan pendidik yang berbasis Islam, kreatif dan mahir dalam bidangnya, sekaligus mampu menafsirkan hal-hal lama dalam substansi terkini atau gaya baru. Sehingga, akan mampu membentuk karakter Islam yang kuat dan jiwa kepemimpinan Islam yang tinggi.
Problematika pendidikan khususnya stagnasi pendidikan Islam telah melanda hampir semua negara Islam di dunia. Untuk mengatasi kemandegan itu, diperlukan usaha-usaha yang maksimal. pertama, merekrut calon anak didik baru yang mempunyai bakat lebih. Anak didik tersebut tidaklah harus multitalent, minimal, mereka mempunyai kelebihan dalam bidang keagamaan seperti fiqih, tafsir, filsafat, dan sebagainya. Langkah ini harus cepat dijalankan, karena hampir semua pelajar yang memasuki dunia pendidikan Islam adalah mereka yang gagal dalam kompetisi di lembaga pendidikan non-Islam.
Kedua, Mengangkat atau menyeleksi anak didik lulusan lembaga pendidikan Islam (madrasah) yang cerdas, kemudian mempersiapkan anak didik yang cerdas untuk dikirim ke luar negeri, dengan tujuan untuk mempelajari sistem pendidikan modern, serta kebudayan-kebudayaan negara Barat (oksidentalisme). Sehingga setelah kembali ke negeri asalnya, mereka dapat merubah sistem pendididikan Islam, mulai dari kurikulum sampai sistem peengajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Ketiga, mengangkat para pendidik yang ahli dalam berbagai bidang. Mulai dari bahasa Arab, bahasa Inggris, ahli hadits sampai ahli dalam bidang filsafat. Hal ini juga sekaligus memberi peluang bagi lulusan universitas non Islam untuk menjadi pendidik dalam bidang keilmuan non-Islam. Yang dengan itu, diharapkan antara ilmu ke-Islamam dengan ilmu umum dapat saling melengkapi.
Keempat, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya yang kreatif dan imajinatif. seperti menulis buku dan karya-karya yang lain. Dengan mempunyai karya, secara tidak langsung anak didiknya akan mengetahui pemikiran pendidik melalui karyanya.
Melalui langkah tersebut diatas. Diharapkan pendidkan Islam dapat melahirkan pendidik dan anak didik yang Islami, mampu melahirkan intelektual muslim yang betanggungjawab penuh atas kemajuan pendidikan Islam. Melalui pendidik yang kreatif dan berkualitas, diharapkan juga akan menambah jumlah anak didik untuk mempelajari Islam tanpa merasakan bosan dan jenuh.

*Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Peserta Program Pendidikan Politik Kebangsaan Di Monash Istitute
& Pegiat pada Forum Pembangunan Peradaban Bangsa(FPPB)
Kader HMI Komisariat Tarbiyah

Kategori:Tulisan kader

Revolusi Kurikulum Pendidikan Nasional

Maret 6, 2012 4 komentar

Nur Faidatun (kiri)
Oleh : Nur Faidatun Naimah*

Dalam UU Nomor 2 tahun 1989, telah menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa datang. Di era globalisasi ini, ilmu pengetahuan menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan yang terus menerus. Jika hal ini tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka pendidikan nasional tidak akan mampu menjalankan fungsinya untuk mencetak generasi yang berkualitas bagi negara. Padahal, negara menaruh harapan yang sangat besar di pundak para generasi muda.
Melihat pendidikan nasional merupakan pilar utama dalam mencetak generasi muda yang berkualitas. Maka, baik atau buruk suatu bangsa, tergantung pada kualitas generasi mudanya. Karena merekalah yang nantinya akan memimpin bangsa ini, menggantikan para pemimpin yang sedang berkuasa saat ini. Jika suatu negara memiliki generasi yang handal serta berdaya saing tinggi, maka bukan tidak mungkin negara tersebut akan menjadi negara yang makmur serta memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan dunia internasional.
Salah satu hal yang mampu menjembatani terealisasinya hal tersebut, adalah dengan melakukan` revolusi kurikulum pendidikan nasional. Menurut beberapa penelitian, kurikulum pendidikan yang ada saat ini belum mampu mengadvokasi kebutuhan serta potensi peserta didik. Pasalnya, sebagian besar kurikulum tersebut, tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dibutuhkan dan cenderung mengulang-ulang materi yang pernah disampaikan di semester atau kelas sebelumnya.
Ketidakmampuan kurikulum dalam menjalankan fungsinya, nyatanya telah menciptakan bumerang bagi eksistensi Indonesia di kancah internasional. Misalnya, Indonesia masuk golongan negara yang memiliki daya saing serta SDM yang rendah.
Menurut IMD (2000), dalam hal daya saing, Indonesia menduduki peringkat ke-45 dari 47 negara. Padahal, jika kita tengok Negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand masing-masing berada pada urutan ke-2, 25, dan 23. Sedangkan, daya saing itu ditentukan oleh mutu SDM. Sayangnya, dalam hal SDM, Indonesia juga masih berada pada peringkat bawah, yaitu 46.
Hasil survey tersebut menunjukkan, bahwa betapa Indonesia masih menjadi Negara yang terbelakang dalam hal intelektual, dan diperparah lagi dengan rendahnya SDM. Sesungguhnya, akar dari permasalahan ini adalah karena kurang penguasaan dalam bidang pendidikan, utamanya sains dan teknologi, serta lemah dalam manajerial.

Perlu Revolusi Kurikulum
Paradigma yang berkembang di Negara kita saat ini adalah belajar untuk sekolah, bukan untuk hidup. Itulah kiranya yang menyebabkan masyarakat kita hanya pandai menghafal berbagai macam materi yang diajarkan di bangku pendidikan, tanpa pernah tau dan mau mencoba untuk mengaplikasikan dan mengembangkannya..
Sesungguhnya, IQ(Intellegent Quotient) bukanlah faktor utama penentu kualitas dan keberhasilan hidup seseorang, melainkan ditentukan oleh EQ(Emotional Quotient) dengan didukung oleh kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. Namun, fakta yang terjadi adalah banyak sekolah yang lebih mementingkan kurikulum untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dengan mengesampingkan kecerdasan ketrampilan peserta didiknya.
Apabila Indonesia ingin meningkatkan SDM dan daya saing generasi mudanya, agar mampu bersaing di kancah internasional, maka negara harus mengerucutkan kurikulum serta materi yang disampaikan di bangku sekolah. Selain itu, negara hendaknya menambah materi yang berhubungan dengan kecerdasan ketrampilan dan peningkatan pola pikir kritis serta analitis. Dengan begitu, peserta didik tidak hanya akan menjadi generasi yang pandai secara intelektual, namun juga terampil serta memiliki pola pikir yang empiris. Sehingga, mereka tidak hanya mampu dalam memahami suatu pelajaran, tapi juga dapat mengaplikasikannya.

Metode Pembelajaran Efektif
Permasalahan terbesar dunia pendidikan di Indonesia adalah terlalu banyak materi yang dijejalkan ke dalam benak peserta didik dan banyak dari materi tersebut yang sebenarnya tidak dibutuhkan namun masih dicantumkan dalam kurikulum pembelajaran. Sehingga, mereka tidak mampu memberdayakan potensi yang dimiliki. Sejalan dengan hal itu, metode dengar atau satu arah (pengajar menerangkan dan peserta didik mendengarkan) harus dihapus dari daftar metode pengajaran. Karena, metode ini akan menghambat peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimiliki. Sebaliknya, metode tersebut harus diganti dengan metode sekolah aktif, yang lebih menekankan pada pengembangan potensi serta ketrampilan peserta didik.
Sesungguhnya, metode pengajaran satu arah tidak efektif jika diterapkan dalam pendidikan. Karena, yang lebih penting adalah mendorong peserta didik untuk lebih aktif dan menggunakan potensi yang dimiliki untuk menyelesaikan setiap materi atau permasalahan yang disajikan oleh pengajar. Oleh karena itu, pola pengajaran satu arah harus dirubah dengan pola pelontaran dan penyelesaian masalah (problem posing and problem solving).
Penyajian bahan atau permasalahan, dapat diambil dari permasalahan atau kejadian yang dekat dengan kehidupan pesertas didik, untuk dapat dicari pemecahan masalahnya. Untuk itu, penciutan materi sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga akan tersedia banyak waktu bagi peserta didik untuk mengolah dan mengembangkan potensinya.
Dengan metode ini, peserta didik akan terbiasa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan mengandalkan potensi yang dimilikinya, dan mengurangi ketergantungan pada pengajar. Satu hal yang patut kita perhatikan adalah lebih mengutamakan daya tanggap dan ketrampilan peserta didik dalam setiap proses pembelajaran.
Akhirnya, Negara ini perlu melakukan revolusi kurikulum pendidikan nasional. Karena, hal ini akan berpengaruh pada kelangsungan bangsa ini di masa depan.

*Peserta Program Sekolah Pendidikan Politik Kebangsaan di Monash Institute; aktivis HMI IAIN Walisongo Semarang

Kategori:Tulisan kader

Salam Perjuangan

Februari 8, 2012 6 komentar
Kategori:Tulisan kader